Rabu, 29 Mei 2013

Bisakah Belajar Makrifat dari Rakyat Awam

Netralitas keagamaan akan berubah menjadi kepentingan ekonomi dan politik dalam tata pergaulan dunia era pasca-industri. Lebih kritis lagi ketika diletakkan dalam perspektif ramalan futurolog mengenai benturan peradaban dan kebangkitan keagamaan di belahan Asia Afrika.

Perdebatan fungsi agama sebagai perekat sosial atau pemicu konflik kembali menjadi aktual.
Padahal, dalam serangkaian konflik yang terjadi, faktor sosial ekonomi dan politik selalu terlibat. Di sinilah konsep dan kebijakan kerukuan beragama dalam kerangka kebangsaan selama ini perlu dikaji ulang. Konsep itu ternyata gagal menjamin terhindarnya konflik atas nama agama.

Masing-Masing Berpindirian Agamanya Benar

Setiap pemeluk agama menyakini kebenaran agamanya dengan misi suci dakwah penyelamatan.
Namun, ide dasar dakwah penyelamatan bagi pemuliaan manusia gagal menjanjikan hidup tenteram dan kedamaian. Orang yang tak memenuhi seruan dakwah keselamatan ditempatkan di luar wilayah surgawi. Tidak hanya dituduh sesat dan melanggar kebenaran, bahkan dianggap menentang dan merusaka kesucian agama.

Soalnya adalah terbatasnya wawasan keagamaan publik atas ajaran agamanya. Dakwah keselamatan bukan penempatan manusia sebagai hakim imam, akan tetapi penempatan semua manusia dalam kemahaluasan ampunan Tuhan.
Kerukunan bukanlah hanya sekedar komunikasi antar pemeluk, tetapi dialog kreatif dan dialogis pengalaman beriman. Perlu dibuka dialog kebertuhanan dan keberagamaan tanpa khawatir erosi keimanan.

Wawasan keagamaan publik akan memperkaya pengalaman bertuhan dan beragama anatar pemeluk dan antar pemahaman yang berbeda atas suatu teks ajaran. Hal ini sangatlah penting di tengah peradaban dunia yang semakin terbuka dan menyatu. Cara memahami realitas diri dalam relasi dengan agama dan Tuhanlah yang menjadi persoalan.

Setap ajaran agama dengan gigihnya mempromosikan cinta kasih dan kedamaian hidup.
Sementara itu, setiap manusia dengan mudah menjadikan Tuhan dan agama menurut visinya sebagai legitimasi kehendak dan kepentingannya. Hal ini sering dilakukan dengan menindas untuk menang di atas penderitaan orang lain.

Di sisi lain, elite komunitas aama sering menguasai kebenaran keagamaan atas nama Tuhan secara hegemonik.
Mereka yang memahami teks ajaran suatu agama merasa piling berhak berbicara atas nama Tuha. Bahkan sering menganggap dirinya sebagai representasi kebenaran dan Tuhan bagi kepentingan kelasnya. Keagamaan rakyat atau yang disebut folk religion yang mayoritas menjadi terpinggir dari surgawi.

Mengingat konflik keagamaan dalam skala yang meluas, penting dicari model keagamaan publik yang merakyat.
Tuhan Maha Tahu dan Pengampun, tafsir firmanNya pun terbuka seluas ketakterhinggan diriNya.
Sayangnya, formula legal formal sepanjang klaim elite agama sering mereduksi Kemahaluasan ampunan Tuhan sendiri.

Antara Awam dan Elite

Tanpa wawasan dan kearifan rakyat, surga Tuhan akan menjadi hegemoni elite suatu komunitas agama.
Orang yang awam atas makna teks verbal akan terasing dari wilayah surgawi. Mereka mungkin memiliki kesadaran dan pengalaman kebertuhanan dan keberagamaan jauh lebih kaya, lebih luas dan lebih mendalam.

Melalui wawasan dan kearifan rakyat dalam kebertuhanan dan keberagamaan akan terbuka perspektif baru yang luas dalam melihat kebenaran dan kepemelukan agama lain. Selain itu, dharapkan dapat tumbuh penghargaan terhadap pemeluk agama lain dalam apresiasi kebertuhanan dan keberagamaan.

Berbeda dari kelas elite, rakyat adalah mayoritas publik yang biasanya awam dalam memahami teks ajaran agama yang dipeluknya. Visi kebertuhanan dan keberagamaan mayoritas publik ini cenderung beragam sepanjang sosial dan sejarah hidupnya. Selain itu, mereka lebih cenderung bersikap terbuka dalam beragama yang diberi simbol akademik sinkretisme.

Dalam satu hal, sinkretisme (sintesa) mencerminkan keterbukaan dalam kebertuhanan dan keberagamaan.
Nilai keterbukaan sinkretisme itulah yang perlu dikembangkan sebagai wacana etik kebertuhanan dan keberagamaan. Selanjutnya dikembangkan kualitas kebertuhanan dan keberagamaan sesuai dengan teks verbal dan aktual ajaran agama yang hidup dan dipeluk suatu komunitas secara dinamis dan dialogis.

Hanya Tuhan yang Berhak Menghukum

Mayoritas rakyat biasanya merasa tidak memiliki hak mengklaim kebenaran atas nama Tuhan.
Namun, keagamaan justru lebih menumbuhkan kearifan kebertuhanan dan keberagamaan. Sayangnya, fenomena kebertuhanan dan keberagamaan rakyat sering menjadi kecaman dakwah keselamatan dalam elitisme keagamaan.

Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan mengembangkan suatu kearifan rakyat dalam kebertuhanan dan keberagamaan. Melalui cara demikian dapat dikembangkan suatu model dan pola komunikasi antar pemeluk agama ataupun komunikasi internal dalam komunitas pemeluk suatu agama.
Perlu disadari bahwa dakwah keselamatan hampir setiap agama bermula dari komunitas publik yang awam itu sendiri.

Keawaman beragama bukanlah peringkat surgawi, akan tetapi peringkat keilmuan atas teks verbal dari firman Tuhan.
Kualitas kegamaan tidak diukur dari peringkat keilmuan tetapi kebertuhanan yang secara utuh, disadari yang terintegrasi dalam kehidupan. Jika penerimaan Tuhan atas hambaNya hanya dilihat dari keawaman atas teks firman yang verbal dan formal, Kemahaluasan Tuhan tereduksi oleh batas-batas keverbalan firman dalam pemaknaan formal.

Firman VERBAL hanyalah bentuk kehadiran Tuhan yang maknanya sepadan dengan Kemahaluasan dan Ketakterhinggan Tuhan itu sendiri.
FirmnaNya yang aktual yang tergelar dalam seluruh realitas dinamis cipataanNya yang sebagai sunnatullah dalam ISLAM juga jauh lebih kaya dan tak terhingga dari konsep-konsep.
Karena itu, ksedaran bahwa Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Pengampun perlu diaktualkan dalam realitas kehidupan.

Perlunya Makrifat

Perlu dikaji ulang, apakah seseorang lahir dalam komunitas berbeda agama, maka ia harus kehilangan hak surgawi.
Apakah orang yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan Kristen atau Katolik, Muhammadiyah atau NU harus kehilangan hak memperoleh ampunan tak terhingga Tuhan...
Jaminan rahmat Tuhan bukan hak setiap kelompok keagamaan, akan tetapi hak mutlak Tuhan sendiri.

Dalam praktek keagamaan, kemanusiaan sering tertindas hanya karena pemeluk suatu agama bertindak sebagai Tuhan yang berhak menghukum.
Setiap agama mengajarkan hanya Tuhanlah yang berhak menghukum siapa saja yang dikehendaki dan hanya Tuhan yang berhak berlaku sombong karena Dia Maha Besar, Maha Kuasa dan Maha Esa. Kesombongan dan kecongkakan serta penindasan manusia atas nama agama dan Tuhan, justru dikecam keras oleh tiap ajaran agama.

Kearifan (makrifat) publik dalam kebertuhanan dan keberagamaan akan membuka komunikasi kemanusiaan pemeluk agama dalam pemahaman yang berbeda.
Inilah paradigma dasar kerukunan kemanusiaan dalam beragama dan bertuhan. Kemanusiaan adalah nilai universal dalam dakwah keselamatan dari semua agama besar di dunia ini.

Pengembangan wawasan dan kearifan publik kemanusiaan adalah basis paling dasar bagi kerukunan kehidupan beragama yang tek terhienti hanya sebagai komunikasi antar pemeluk agama.